ISSUE-OPINI, Kamis, 28 Agustus 2025 menjadi tragedi berdarah yang mampu mengguncang bangsa. Seorang pengemudi ojek online yang tak bersalah harus meregang nyawa karena rusaknya pemerintahan . Korban hanya berusaha mencari rezeki, seorang Ibu menanti kepulangannya di rumah, tanpa tahu bahwa putranya telah berpulang selamanya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar ; apa arti keamanan jika rakyat justru merasa tak aman dari aparat yang seharusnya melindungi mereka?
Oknum yang dibentuk untuk menjaga ketertiban dan mengayomi, justru menumpuk trauma dan kemarahan, saat mereka membawa senjata dan kendaraan, sementara rakyat hanya bermodal suara dan keyakinan.
Jadi siapa yang sebernarnya mereka lindungi?
Apakah sekadar permintaan maaf bisa menebus kehilangan seorang ibu terhadap anaknya, seorang kakak terhadap adiknya?
Kematian korban bukan hanya tragedi bagi keluarga, melainkan luka kolektif bagi kita semua. Melihat seorang driver ojol meninggal tragis di bawah kendaraan aparat, membuat kita semakin sadar betapa rapuhnya posisi rakyat kecil ketika berhadapan dengan kekuasaan bersenjata.
Mungkin sebagian orang akan berkata ‘ini kecelakaan’, namun sebenarnya tidak. Tragedi ini adalah cermin retak yang memperlihatkan wajah negara kita. Negara yang seolah gagap membedakan mana musuh, mana rakyat, mana yang harus dilindungi, dan mana yang harus diadili.
Tragedi ini harusnya menjadi titik balik. Negara tidak boleh lagi berdiri di seberang rakyatnya. Karena ketika rakyat takut kepada polisi, bukan lagi dihormati atau dilindungi, maka sesungguhnya kita sedang berjalan mundur sebagai bangsa.
Korban telah pergi, tetapi kisahnya tidak akan terkubur bersama jasadnya. Sebab setiap nyawa rakyat selalu berharga untuk dilindas begitu saja.
Bendera kehilangan maknanya, merah bukan lagi keberanian tapi darah rakyat yang ditumpahkan. Putih bukan lagi kesucian, tapi keluguan yang terus menerus dimanfaatkan.
Photo by Fajar Grinanda on Unsplash