Foto : Jamilatul Jannah Bersama Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Humaniora
ISSUE, Opini. Wisuda selalu dipenuhi dengan senyum dan bunga ucapan. Namun, di balik toga dan selempang, ada kisah yang tak selalu terlihat mata. Begitu pula dengan langkah seorang putri dari pesisir Situbondo, Jamilatul Jannah.
Lahir pada 12 Juli 2002, Jamilatul jannah tumbuh di tengah keluarga sederhana di Kampung Mimbo, Sumberanyar, Banyuputih. Anak kelima dari enam bersaudara ini telah lebih dulu kehilangan sosok ayah tercinta, almarhum Bapak Suhir. Namun, di balik kehilangan itu, ada doa yang tak pernah putus dari ibunda, Ibu Supyani, yang menjadi penopang setiap langkahnya.
Dan akhirnya, pada hari Selasa, 16 September 2025, di Aula Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, ia berdiri tegak mengenakan toga kebanggaan. Bukan hanya sebagai seorang wisudawati Akuntansi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, tetapi juga sebagai peserta skripsi terbaik pertama tahun akademik 2024/2025. Sebuah capaian yang bukan datang dari keberuntungan semata, melainkan dari tekad, air mata, dan doa yang tak henti-henti.
Wisuda bukanlah akhir. Gelar sarjana hanyalah satu pintu dari perjalanan panjang yang masih menanti. Namun, hari ini adalah bukti bahwa perjuangan tak pernah mengkhianati hasil. Jamilatul Jannah membuktikan, bahkan dari kampung kecil di pesisir, dari ruang sederhana yang penuh keterbatasan, cahaya keberhasilan tetap bisa lahir.
Dan mungkin, di antara keramaian aula Sukorejo yang penuh tawa bahagia, ada doa seorang ayah yang sampai di langit, menyatu dengan doa ibu di bumi, keduanya berpelukan dalam kebanggaan. Dari doa itu, lahirlah kekuatan seorang putri yang kini berdiri di puncak pencapaian.
Wisuda bukan hanya tentang gelar. Ia adalah tentang cinta keluarga, doa ayah dan ibu, serta perjuangan yang tak kenal menyerah. Kisah Jamilatul Jannah hari ini adalah pengingat bagi kita semua: bahwa ilmu, kerja keras, dan doa adalah jalan menuju cahaya.
Penulis : Al Farizy
Sumber Berita : UNIVERSITAS IBRAHIMY











