Oleh: M Padilah Ramadan (Aktivis jalanan)
ISSUE, Cerpen. Aku terbangun dari tidur panjang, lalu mendapati diri penuh pertanyaan tentang keindahan dunia.
Malam itu, Senin, 12 Maret, pukul 20.34, di sebuah bangunan berdinding kayu berukuran 6×7 meter, jauh dari hiruk pikuk kendaraan, aku bersama kawanku sebut saja Kang Dobleh lagi duduk di teras menghadap ke barat. Pandangan kami tak lepas dari pohon-pohon besar, ditemani suara jangkrik yang menggelitik suasana. Di hadapan kami, secangkir air hitam tanpa gula menghangatkan malam.
Kang Dobleh, dengan topi putih di kepala dan jaket biru menutupi tubuhnya, tiba-tiba berkata lirih sambil menyeruput air hitam itu,
“Keindahan dunia itu seperti apa, sih?”
Aku mengernyitkan kening, menatapnya dengan serius. Ia membalas tatapanku lebih serius lagi.
“Bajingan,” lontarku spontan.
Kami saling menatap selama tiga detik. Hening. Lalu ia terbahak, wajahnya konyol, air muncrat dari mulutnya. Tawa itu memecah keheningan malam.
Seandainya ada hewan yang ditaruh di mulutnya saat tertawa, bisa-bisa mati penasaran karena aroma yang keluar. Tawa Kang Dobleh begitu lepas, seolah ia puas dengan kekonyolan pikirannya.
“Mengapa aku bisa berkata seperti itu ya?” ucapnya sambil menatap ribuan bintang yang bergelantungan di langit.
“Ah, itu cuma pikiranmu saja kali,” jawabku sambil meneguk kopi yang tadi sempat terkena percikan tawa.
Jangkrik-jangkrik seakan mulai menggosipiku, merasa terganggu oleh tawa kawan yang penuh keberangusan. Udara dingin menyelimuti tubuh, bukan seperti selimut hangat, melainkan selimut dingin yang menusuk.
“Dingin banget yok malam ini,” teriakku dalam hati.
“Cewekku minta udahan, loh,” lanjutnya, menghela napas. Kalimat itu terdengar berat baginya.
Kang Dobleh, manusia yang terus berjuang dalam harapannya, bekerja keras demi impian dan keluarganya, kini terduduk dengan luka. Bagiku, terasa aneh jika hal seremeh itu begitu ia pikirkan dalam.
Air hitam yang kami minum malam itu ternyata menggambarkan keadaannya pahit, dingin, dan sunyi. Ia sering merasa dikucilkan oleh keluarganya. Biaya kuliahnya pun tak kunjung lunas hingga semester sembilan. Kini, tujuan hidupnya entah ke mana. Dan pacarnya… pergi tanpa memahami kondisinya.
“Lalu, apa keputusanmu setelah mendengar itu?” tanyaku tegas, berharap mendengar suara tangis yang bisa membasuh luka batinnya.
“Aku nggak punya keputusan,” jawabnya lirih, geleng kepala, wajahnya seperti kehilangan harapan untuk terus hidup. Ia tampak berat untuk melangkah.
Detak jam dinding terus berdetak, menghantui suasana. Aku memandangi secangkir kopi di depanku yang mulai dingin. Setiap tegukan seolah mengingatkanku akan tawa, cinta, dan kenangan yang pernah ia jalani, yang kini hilang hanya karena satu kalimat.
Kring… kring… kriiiing…
Dering handphone memecah keheningan. Letaknya di samping air hitam yang telah dingin. Di layar tertera nama: Rani—perempuan yang membuat Kang Dobleh terjebak dalam suasana malam ini.
“Angkat,” ucapku membujuk.
“Tidak. Akhir adalah awal dari sebuah hubungan,” gumamnya dengan nada penuh kecewa.
Aku terdiam. Kening mengerut, udara dingin menyelimuti. Otak dan hati bentrok, tak menemukan titik temu. Seolah secangkir air hitam tanpa gula jadi lambang bahwa keindahan dunia itu mungkin tidak pernah benar-benar ada.
Apa yang dirasakan ketika kita hendak ditinggalkan oleh seseorang yang sangat disayangi? Keluh, kesah, gundah, gulanah, mellow? Semua itu pasti hadir. Tapi, benarkah dunia tidak lagi indah ketika ia hilang dari genggaman?
Pertanyaan itu sering menyertai mereka yang berada di ambang kehancuran. Seolah cinta adalah satu-satunya definisi dari keindahan dunia. Padahal tidak. Dunia akan tetap terasa indah jika kita pandai bersyukur dan sadar: segala yang Tuhan berikan, baik maupun buruk, adalah yang terbaik.
Berpikir positif itu perlu. Namun, berpikir negatif pun kadang penting dalam keadaan tertentu agar kita tetap sadar bahwa manusia, pada akhirnya, adalah makhluk berakal.
Penulis : M Padilah Ramadan
Editor : Halim al farizi