Oleh: Saiq Khayran (Mahasiswa Universitas Nurul Jadid)
ISSUE, Essai. Momentum Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober, seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai pengingat sejarah _Jihad Fisabilillah_ kaum santri atas kontribusinya terhadap bangsa sekitar delapan dekade silam. Lebih dari itu, peringatan HSN mesti menjadi momen muhasabah diri dan penguatan nilai-nilai keislaman dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman ke depan.
Belakangan ini, kaum santri, para kiai, serta kalangan pesantren tengah dihadapkan pada berbagai bentuk serangan dan stigma negatif. Mulai dari caci maki terhadap ulama, tudingan bahwa santri hanyalah budak para kiai, hingga anggapan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang feodalistis dan menjadi sarana hegemoni kapitalis. Semua narasi ini seolah dikonstruksi untuk meruntuhkan nilai-nilai spiritualitas dan moralitas yang selama ini dijaga oleh pesantren.
Menghadapi fenomena tersebut, kaum santri harus bijak dan mampu memfilter setiap keadaan dengan ketenangan hati dan kejernihan berpikir. Jangan sampai arus provokasi menjerumuskan pada tindakan emosional yang justru merusak citra pesantren serta mengikis nilai-nilai spiritualitas santri itu sendiri.
Di momentum HSN tahun ini, mari kita kembali merenungi hakikat eksistensi pesantren sebagai benteng peradaban Islam yang tetap relevan di setiap zaman. Pertama, pesantren tidak didirikan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Lebih dari itu, pesantren hadir untuk membentuk insan yang bertakwa, berilmu, dan mengamalkan nilai-nilai kebenaran sesuai tuntunan syariah.
Oleh sebab itu, pesantren selalu menekankan pendidikan spiritual dan intelektual. Santri belajar mengenal Tuhan sebagai sumber kekuatan dan keyakinan, memahami hukum-hukum Islam agar tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang, serta mengamalkan nilai-nilai kebenaran sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah-Nya.
Kedua, selain menanamkan spiritualitas dan intelektualitas, pesantren juga menumbuhkan moralitas dan emosionalitas. Dalam konteks ini, adab dan budi pekerti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan santri. Kebiasaan-kebiasaan di pesantren—seperti menunduk saat bersalaman, berdiri menunggu di depan rumah kiai, dan patuh terhadap perintah guru—bukanlah bentuk perilaku yang berlebihan, melainkan ekspresi penghormatan dan rasa terima kasih kepada sosok yang lebih tinggi ilmunya serta telah membimbing di jalan kebenaran.
Terakhir, perlu disadari bahwa pesantren berdiri bukan sekadar untuk menjaga tradisi, melainkan untuk menegakkan kebenaran dan melawan kemungkaran. Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 104:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat tersebut bukan hanya seruan kosong, melainkan panggilan moral dan tanggung jawab spiritual bagi seluruh umat manusia untuk tetap konsisten menegakkan nilai-nilai kebenaran. Hingga hari ini, pesantren menjadi satu-satunya lembaga yang istiqamah mempelajari, menjaga, dan mengamalkan nilai-nilai tersebut.
Maka dari itu, dengan semangat Mengawal Indonesia Merdeka dan Menuju Peradaban Dunia – sesuai dengan tema HSN 2025, mari sama-sama teguhkan komitmen untuk selalu berada di jalan yang benar. Sekuat apa pun serangan dan ancaman yang datang, selama iman, ilmu, dan ihsan terus kita jaga, niscaya pesantren dan umat Islam akan senantiasa terselamatkan.











