Oleh: Arik Irawan (Demisioner Ketua Rayon Istimewa IKSASS (IKMASS) Bondowoso Periode IV Th. 2023/2024)
ISSUE , Opini. Perpecahan yang terjadi di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada akhir November 2025 bukan sekadar dinamika internal organisasi. Konflik ini telah memasuki tahap yang menegangkan: mulai dari permintaan mundur terhadap Ketua Umum Gus Yahya oleh Syuriyah PBNU, hingga pernyataan resmi bahwa ia tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum dan kehilangan wewenang strukturalnya . Di sisi lain, sebagian petinggi PBNU dan ulama menyatakan bahwa pemakzulan tersebut tidak sah dan menuntut agar kepengurusan berjalan sampai akhir periode .
Dengan demikian, NU kini berada dalam posisi dual otoritas, sebuah keadaan yang secara sosiologis sangat rawan memicu perpecahan massal.
1. Perpecahan NU: Krisis Kepemimpinan atau Pergeseran Ideologis?
Konflik ini bermula dari keputusan PBNU yang mengundang seorang narasumber yang dikenal mendukung Israel dalam agenda kaderisasi tertinggi AKN–NU. Hal itu dinilai sebagian besar ulama bertentangan dengan Qanun Asasi NU dan prinsip dasar perjuangan organisasi .
Rapat harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 lalu menghasilkan keputusan meminta Ketua Umum mundur karena dianggap melakukan pelanggaran yang substantif terhadap nilai-nilai dasar organisasi .
Namun resistensi justru membesar ketika sejumlah tokoh PBNU menyatakan pemakzulan tersebut tidak sah tanpa mekanisme Muktamar Luar Biasa (MLB), sehingga NU kini mengalami dualisme legitimasi.
2. Dampak Perpecahan terhadap Warga Nahdliyyin
Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, kondisi internal NU selalu memiliki efek domino. Dampaknya kepada warga Nahdliyyin saat ini bisa dilihat dari tiga sektor utama:
a. Kebingungan Otoritatif
Warga NU, terutama para pengurus cabang dan pesantren, kini menghadapi kebingungan mengenai siapa otoritas yang sah: apakah mengikuti garis Syuriyah atau Tanfidziyah. Ketika dua pihak saling mengklaim legitimasi, akar rumput seringkali menjadi korban dari konflik elite.
b. Potensi Polarisasi Sosial
Dalam sejarah Indonesia, dualisme organisasi besar sering memicu pengelompokan sosial. Jika polarisasi ini meluas sampai ke tingkat pesantren atau struktural wilayah, maka gesekan horizontal sangat mungkin terjadi.
c. Turunnya Kepercayaan Publik
NU selama ini dikenal sebagai penyangga Islam moderat Indonesia—bahkan secara global, di bawah Gus Yahya, NU masuk daftar organisasi Muslim paling berpengaruh di dunia tahun 2026 . Konflik berkepanjangan berpotensi merusak kredibilitas tersebut.
3. Keuntungan bagi Pihak yang Menginginkan Indonesia Runtuh
Bila dilihat dari perspektif geopolitik dan sosial nasional, konflik NU memberi peluang (window of opportunity) bagi kelompok yang menginginkan instabilitas di Indonesia. Ada tiga keuntungan besar bagi mereka:
a. Melemahnya Penyangga Islam Moderat
NU adalah benteng utama Islam moderat Indonesia. Ketika NU goyah, radikalisasi dan politik identitas ekstrem memiliki ruang lebih luas untuk berkembang.
b. Fragmentasi Kekuatan Sosial
NU adalah kekuatan sosial terbesar di Indonesia, memiliki jutaan anggota dan jaringan pesantren. Fragmentasi internal berarti melemahnya kohesi nasional. Kelompok anti-keutuhan bangsa dapat memanfaatkan keretakan ini untuk memperluas pengaruh.
c. Kerentanan Politik Menjelang Tahun-Tahun Penting
Menjelang peringatan satu abad NU 2026 dan dinamika politik nasional menjelang pemilu berikutnya, instabilitas di tubuh NU bisa memicu ketidakstabilan politik lebih luas. Ini adalah kondisi yang menguntungkan pihak-pihak yang ingin melihat Indonesia tidak stabil.
4. Dampaknya terhadap Situasi Politik Indonesia
Situasi politik nasional kini berada pada fase sensitif. Ada beberapa implikasi langsung:
a. Ketidakpastian Arah Dukungan Politik NU
Selama ini NU sering menjadi penentu arah politik nasional. Dualisme kepemimpinan membuat aktor-aktor politik kehilangan kepastian terhadap blok dukungan Nahdliyyin.
b. Potensi Intervensi Politik
Ketika organisasi besar pecah, selalu ada risiko pihak-pihak politik mencoba memanfaatkan situasi. Hal ini dapat memperkeruh keadaan dan memperpanjang konflik.
c. Fokus Pemerintah Terkuras
Dengan NU terguncang, pemerintah harus mencurahkan energi lebih besar untuk menjaga stabilitas sosial. Situasi ini tidak ideal ketika Indonesia sedang menghadapi tantangan global ekonomi dan geopolitik.
Kesimpulan
Perpecahan di PBNU bukan hanya persoalan internal organisasi, tetapi sebuah gejolak besar dalam politik dan keagamaan Indonesia. Dengan dualisme kepemimpinan, potensi polarisasi warga Nahdliyyin, serta peluang bagi pihak-pihak destruktif untuk memanfaatkan situasi, NU kini berada pada titik kritis.
Stabilitas Indonesia sebagian bergantung pada kemampuan NU menyelesaikan konflik ini secara damai, konstitusional, dan bermartabat.















