Oleh: Wafiqi Amalia (Biro Pemberdayaan Perempuan Rayon Raden Umar said)
ISSUE, Opini, Perempuan bukan sekadar pelengkap dalam dunia organisasi, melainkan aktor penting yang mampu memberi warna, arah, bahkan transformasi dalam dinamika kepemimpinan dan kerja kolektif. Di tengah arus modernisasi dan semangat kesetaraan gender, peran perempuan dalam organisasi tak bisa lagi dipinggirkan atau dianggap sekadar simbolis.
Secara historis, perempuan telah terlibat dalam berbagai perjuangan sosial dan politik, meskipun seringkali tertutup oleh dominasi narasi laki-laki. Namun, kini perempuan semakin berani tampil sebagai pemimpin, inisiator gerakan, dan pengambil keputusan. Dalam organisasi kemahasiswaan, misalnya, banyak perempuan yang menjabat posisi strategis—dari ketua bidang, sekretaris jenderal, hingga ketua umum. Kehadiran mereka bukan karena kuota, tapi karena kapasitas dan integritas.
Satu hal yang membedakan perempuan dalam kepemimpinan adalah pendekatan yang lebih humanis dan komunikatif. Mereka cenderung mengedepankan musyawarah, empati, serta sensitivitas terhadap masalah sosial dan kemanusiaan. Inilah kekuatan yang sering kali menjadi penyeimbang dalam dinamika organisasi yang penuh tekanan dan konflik.
Namun demikian, tantangan yang dihadapi perempuan dalam organisasi tidak sedikit. Mulai dari stereotip gender, minimnya kepercayaan dari rekan satu tim, hingga beban ganda antara tanggung jawab organisasi dan tuntutan sosial. Oleh sebab itu, penting bagi setiap organisasi untuk menciptakan ekosistem yang inklusif yang bukan hanya memberi ruang bagi perempuan, tetapi juga menjamin perlindungan, penghargaan, dan penguatan peran mereka.
Lebih dari sekadar “perempuan yang mampu”, yang dibutuhkan adalah perubahan pola pikir kolektif: bahwa keterlibatan perempuan bukanlah pengecualian, melainkan keharusan. Organisasi yang sehat adalah organisasi yang membuka partisipasi seluas-luasnya, tanpa membatasi atas dasar jenis kelamin.
Sumber Berita : PMII UNIVERSITAS IBRAHIMY