Oleh: Arik Irawan (Ketua Komisariat PMII Universitas Bondowoso)
ISSUE, Opini. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir bukan sekadar sebagai organisasi, melainkan sebagai wadah pertemuan antara intelektualitas, spiritualitas, dan semangat perjuangan sosial. Dari awal kelahirannya, PMII selalu mengusung idealisme tinggi: membela kaum mustadh’afin, menjaga marwah demokrasi, serta menjadi motor perubahan di tengah dinamika bangsa. Namun, sering kali idealisme itu dipandang sebagai sesuatu yang utopis—indah dalam konsep, tetapi sulit diwujudkan di realitas.
Padahal, bila ditelaah lebih jauh, idealisme bukanlah utopia. Idealisme adalah kompas moral yang menjaga arah pergerakan agar tidak larut dalam pragmatisme. Tanpa idealisme, organisasi mahasiswa hanya akan terjebak dalam rutinitas seremonial tanpa makna. PMII dengan segala dinamikanya, harus tetap menjadikan idealisme sebagai pijakan dalam setiap langkah, meskipun tantangan era kekinian semakin kompleks.
Era digital, globalisasi, dan derasnya arus informasi telah membawa wajah baru pergerakan mahasiswa. Ruang kritik tidak lagi terbatas pada podium demonstrasi, tetapi juga merambah ke ruang-ruang virtual. Di titik ini, idealisme PMII diuji: mampukah ia menjaga substansi perjuangan di tengah banjir konten instan yang kerap menumpulkan daya kritis?
Refleksi ini penting, sebab banyak kader yang berhadapan dengan dilema: memilih menjadi aktivis yang lantang di jalanan, atau menjadi intelektual yang kritis di ruang akademik. Sesungguhnya, keduanya bisa berjalan beriringan bila ditopang dengan idealisme yang kokoh. PMII harus hadir sebagai penyeimbang—mampu membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan ke dalam praksis nyata yang dirasakan masyarakat.
Lebih dari itu, menjaga idealisme berarti juga berani berbeda. Di tengah pragmatisme politik dan budaya populer yang cenderung permisif, kader PMII harus mampu berkata “tidak” terhadap kompromi yang mencederai nurani. Inilah yang membedakan antara gerakan yang sekadar ikut arus dengan gerakan yang benar-benar membawa misi perubahan.
Maka, idealisme PMII bukan utopia, melainkan energi. Ia bukan bayangan kosong yang mustahil digapai, tetapi daya dorong yang menuntun kadernya untuk terus berproses, mengasah diri, dan mengabdikan ilmu bagi masyarakat. Tugas kita adalah merawat energi itu agar tidak redup oleh kepentingan sesaat.
Akhirnya, refleksi ini mengingatkan kita bahwa keberadaan PMII tidak akan bermakna tanpa komitmen menjaga idealisme. Justru dari sanalah lahir kader yang tangguh, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan zaman. Idealisme bukan mimpi, ia nyata, sejauh kita berani menghidupkannya dalam setiap denyut perjuangan.