Oleh: Arik Irawan (Demisioner Ketua IKMASS Bondowoso Periode IV Th. 24/25
ISSUE, Opini. Tiga puluh tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah organisasi untuk menjaga eksistensinya. IKSASS (Ikatan Santri Salafiyah Syafi’iyah) lahir dari rahim pesantren dengan semangat kebersamaan, pengabdian, serta ikatan moral yang meneguhkan santri untuk tetap berpegang pada nilai-nilai luhur. Momentum harlah ke-37 ini menjadi ruang refleksi, bukan hanya tentang seberapa jauh perjalanan yang telah dilalui, tetapi juga tentang arah perjuangan yang akan ditempuh.
Dalam falsafah peradaban, kita mengenal dua kata kunci: beradab dan berperadaban. Keduanya memiliki makna yang saling berkaitan, namun tidak identik. Beradab berarti menjaga akhlak, sopan santun, serta ketundukan pada nilai-nilai etik dan spiritual. Sementara berperadaban adalah hasil dari sikap beradab yang meluas, sehingga melahirkan sistem sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan tata kehidupan yang tertata. Dengan kata lain, tidak mungkin suatu bangsa atau komunitas bisa membangun peradaban tanpa fondasi adab.
IKSASS, sejak awal berdirinya, mengemban tugas mulia untuk menjaga kesinambungan nilai adab pesantren di tengah derasnya arus perubahan zaman. Santri diajarkan untuk kritis, namun tetap sopan; berani bersuara, namun tidak melampaui batas; serta mampu menempatkan ilmu pengetahuan bukan sekadar alat intelektual, melainkan jalan pengabdian. Nilai inilah yang membuat IKSASS berbeda dari organisasi kemasyarakatan pada umumnya: ia tumbuh dari akar tradisi santri, namun tidak menutup diri terhadap tantangan global.
Memasuki usia ke-37, IKSASS dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks: krisis moral, derasnya arus digitalisasi, hingga dinamika kebangsaan yang kerap menimbulkan perpecahan. Dalam konteks inilah, IKSASS perlu meneguhkan kembali identitasnya sebagai organisasi yang beradab sekaligus berperadaban. Beradab, dengan terus menanamkan nilai akhlakul karimah dalam setiap lini kaderisasi. Berperadaban, dengan mengambil peran aktif membangun masyarakat yang cerdas, berdaya saing, dan berlandaskan pada kearifan tradisi pesantren.
Harlah ke-37 ini bukan hanya selebrasi, melainkan pengingat. Bahwa menjadi bagian dari IKSASS adalah panggilan untuk menjaga warisan pesantren: membumikan Islam rahmatan lil ‘alamin, memadukan ilmu dan amal, serta menghadirkan peradaban yang memuliakan manusia.
Seperti kata pepatah Arab, “Al-adab fauqal ‘ilm” (adab lebih tinggi daripada ilmu). Dari adab lahirlah peradaban. Dan dari santri yang beradab, terwujudlah masyarakat yang berperadaban.
Selamat harlah ke-37 untuk IKSASS. Semoga semakin teguh dalam menjaga adab, dan semakin kokoh dalam menegakkan peradaban.