Makna Keterlemparan: Refleksi Eksistensialisme di Pojok Surau

- Wartawan

Jumat, 31 Oktober 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gambar: Anggota KKPS sedang melaksanakan diskusi

ISSUE, Essai. Di depan gedung MANJ Pondok Pesantren Nurul Jadid, beberapa santri mahasiswa tampak duduk melingkar. Di hadapan mereka, buku-buku terbuka lebar sebagian dipegang dan dibaca dengan serius, sebagian lainnya masih tergeletak menunggu giliran untuk disajikan dalam diskusi malam itu.

Mereka adalah anggota Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS), sebuah komunitas intelektual yang berorientasi pada kajian filsafat dan pemikiran kritis. Malam itu, bertepatan dengan Rabu malam Kamis, 29 Oktober 2025, mereka sedang membedah teori yang sangat populer dalam dunia filsafat eksistensialisme Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre.

Sebagai seseorang yang awam terhadap kajian filsafat, saya hanya menjadi pengamat pasif di sudut lingkaran itu. Namun, rasa kagum perlahan tumbuh saat menyaksikan cara mereka berdiskusi. Masing-masing peserta berusaha mempresentasikan pemahamannya dengan penuh semangat. Ada yang menjelaskan fondasi dasar eksistensialisme Heidegger dan Sartre, ada yang menyoroti perbedaan keduanya, dan ada pula yang berperan sebagai penengah perdebatan untuk meluruskan tafsir yang melenceng dari esensi teori.

Terlepas dari benar atau tidaknya penafsiran mereka, satu hal penting yang saya tangkap malam itu adalah perbedaan mendasar antara konsep ada dan mengada. Dari sana, saya mulai merenungi bahwa keberadaan manusia di dunia ini pada hakikatnya bersumber dari keterlemparan sebuah kondisi eksistensial di mana manusia hadir begitu saja di dunia, tanpa pilihan awal, dan kemudian diberi kebebasan untuk memaknai keberadaannya.

Bagi saya, pandangan ini mengandung filosofi yang dalam. Eksistensi manusia bukan hanya tentang kesadaran akan kebebasan dirinya, melainkan tentang tanggung jawab untuk memberi makna atas keberadaannya di dunia. Di sinilah saya merasa pandangan Sartre menemukan relevansinya: bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia terlebih dahulu ada lalu berproses untuk menemukan dan membentuk hakikat dirinya melalui tindakan dan pilihan hidupnya.

Bayangkan manusia sebagai sosok yang terlempar ke dunia dalam keadaan kosong tanpa identitas, tanpa arah, tanpa bekal. Ia harus menentukan sendiri jalan hidupnya agar kekosongan itu terisi. Ia bisa memilih menjadi guru, dosen, politisi, hakim, atau kiai. Semua tergantung pada kebebasan dan keputusan yang diambilnya.

Namun, dalam refleksi saya, teori Sartre terasa belum sepenuhnya utuh. Sebab manusia tidak hanya ada dan bebas memilih, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memberi makna pada kehidupannya. Di titik inilah pandangan Heidegger terasa lebih dekat dengan nurani saya. Heidegger melihat eksistensi manusia bukan hanya sekadar kebebasan, tetapi juga panggilan untuk memahami dan memaknai keberadaan baik dirinya sendiri maupun dunia di sekitarnya.

Bagi Heidegger, esensi bukan sesuatu yang datang setelah eksistensi, melainkan sudah melekat pada keberadaan itu sendiri. Tugas manusia adalah mengejawantahkan esensi itu dalam kehidupan nyata dalam relasi sosial, budaya, dan spiritualitasnya. Manusia bukan sekadar makhluk yang berpikir tentang dunia, tetapi makhluk yang berhubungan secara eksistensial dengannya.

Contohnya sederhana: dalam konteks kehidupan beragama, keberadaan manusia seharusnya tercermin dari perilaku yang memberi makna seperti menolong sesama, berbagi manfaat, dan menjaga harmoni. Pemahaman akan keberadaan diri di hadapan Tuhan dan sesama manusia inilah yang menjadikan hidup memiliki arah dan nilai.

Bagi saya, pandangan Heidegger ini lebih menyentuh dan realistis. Sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, bukan individu yang hidup untuk dirinya sendiri. Eksistensi sejati justru terwujud ketika manusia mampu menautkan dirinya dengan dunia dan memberi arti bagi kehidupan di sekitarnya.

Melalui filsafat eksistensialisme, saya akhirnya belajar bahwa hidup bukan hanya tentang ada dan mengada tetapi tentang bagaimana keberadaan kita menjadi berarti. Bahwa keterlemparan manusia ke dunia bukanlah hukuman, melainkan kesempatan untuk memilih, memahami, dan memberi makna bagi kehidupan yang kita jalani.

Berita Terkait

Refleksi Hari Santri Nasional 2025: Menguatkan Spiritualitas, Moralitas, dan Peradaban Pesantren
Ribuan Santri Bondowoso Kecam Trans7: Bela Kiai, Jaga Marwah Pesantren dari Layar yang Menyesatkan
Dr. Suheri Dukung Gerakan Mahasiswa: PMII Rayon Averroes Kukuhkan Kepengurusan Baru di Tengah Semangat Open House PAI II
Tak Hanya Tanggap Bencana, BPBD Bondowoso Buktikan Kepedulian pada Pendidikan Lewat Eco Camp 2025
Eco Camp HIMA Ekonomi Syariah 2025: Integritas, Inovasi, dan Ukhuwah Jadi Pilar Solidaritas Mahasiswa Baru
Meriah dan Penuh Makna, Ancak Fest IAI At-Taqwa Bondowoso Jadi Ajang Kreativitas dan Mahabbah Nabi
Keluar dari Zona Nyamanmu
Beradab dan Berperadaban: Refleksi Harlah IKSASS ke-37

Berita Terkait

Jumat, 31 Oktober 2025 - 15:19 WIB

Makna Keterlemparan: Refleksi Eksistensialisme di Pojok Surau

Selasa, 21 Oktober 2025 - 12:16 WIB

Refleksi Hari Santri Nasional 2025: Menguatkan Spiritualitas, Moralitas, dan Peradaban Pesantren

Kamis, 16 Oktober 2025 - 14:33 WIB

Ribuan Santri Bondowoso Kecam Trans7: Bela Kiai, Jaga Marwah Pesantren dari Layar yang Menyesatkan

Selasa, 7 Oktober 2025 - 03:28 WIB

Dr. Suheri Dukung Gerakan Mahasiswa: PMII Rayon Averroes Kukuhkan Kepengurusan Baru di Tengah Semangat Open House PAI II

Senin, 6 Oktober 2025 - 04:12 WIB

Tak Hanya Tanggap Bencana, BPBD Bondowoso Buktikan Kepedulian pada Pendidikan Lewat Eco Camp 2025

Berita Terbaru