Oleh : Arik Irawan (Ketua PK PMII Universitas Bondowoso)
ISSUE, Essai. Pernyataan Menteri Sosial, Gus Ipul, mengenai kewajiban izin sebelum membuka donasi publik menimbulkan respons beragam di tengah masyarakat. Sebagai Ketua PK PMII Universitas Bondowoso, saya melihat bahwa persoalan ini tidak sekadar soal administratif, tetapi menyentuh ranah lebih dalam: solidaritas, kecepatan respons kemanusiaan, dan kepercayaan publik terhadap negara.
Di satu sisi, saya memahami bahwa negara memiliki tanggung jawab memastikan pengelolaan dana publik berlangsung transparan dan akuntabel. Kasus penyalahgunaan donasi oleh oknum tertentu memang pernah terjadi, dan regulasi dapat menjadi instrumen pencegah. Dalam konteks ini, imbauan Gus Ipul untuk memberi laporan penggunaan dana dan menyediakan audit merupakan bentuk kontrol yang pada dasarnya bertujuan baik.
Namun, di sisi lain, penekanan pada keharusan “mengurus izin” sebelum masyarakat boleh menggalang dana justru berpotensi menghambat spontanitas solidaritas warga, khususnya di saat bencana yang membutuhkan respons cepat. Tradisi gotong royong dan gerakan spontan masyarakat adalah bagian dari kekuatan sosial Indonesia yang sering bergerak lebih sigap dibanding birokrasi formal. Membebani inisiatif itu dengan prosedur administratif berisiko membuat masyarakat ragu untuk bertindak, padahal waktu adalah aspek kritis dalam penanganan bencana.
Sebagai organisasi mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, PMII memandang bahwa negara seharusnya hadir untuk mempercepat, bukan memperlambat, partisipasi publik. Daripada menekankan izin di awal, pemerintah dapat fokus pada pengawasan di hilir, yakni memastikan laporan pertanggungjawaban dilakukan secara terbuka. Mekanisme verifikasi bisa dilakukan setelah donasi berjalan, tanpa mengorbankan urgensi aksi kemanusiaan.
Selain itu, pemerintah juga perlu membedakan antara penggalangan dana skala besar oleh lembaga profesional dan penggalangan dana kecil dari mahasiswa, komunitas lokal, atau individu relawan. Menyamakan seluruh inisiatif dalam satu aturan yang sama justru mengaburkan konteks dan kebutuhan lapangan.
Pada akhirnya, yang dibutuhkan bukanlah regulasi yang kaku, melainkan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan relawan. Transparansi tetap penting, tetapi jangan sampai menjadi belenggu bagi gerakan solidaritas.
Pernyataan Mensos seharusnya dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola donasi tanpa mematikan semangat gotong royong. Masyarakat tidak boleh dibuat ragu untuk menolong sesamanya. Negara harus hadir sebagai mitra, bukan sebagai penghambat.
Sumber Berita : PMII UNIVERSITAS BONDOWOSO















