Oleh : Arik Irawan (Demisioner Ketua IKMASS Bondowoso Priode lV)
ISSUE, Opini. Berlogika dengan cara pemikir kiri sering diidentikkan dengan sikap kritis, analitis, dan berani menggugat struktur ketidakadilan. Pemikir kiri tidak puas dengan jawaban yang sudah mapan, mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam terhadap realitas sosial, politik, dan ekonomi. Sikap kritis ini sesungguhnya tidak bertentangan dengan jati diri seorang santri.
Santri dibentuk oleh tradisi pesantren yang menekankan kedalaman ilmu, keikhlasan, serta ketundukan pada nilai-nilai agama. Namun, nilai itu bukan berarti membatasi daya nalar kritis. Justru, tradisi keilmuan Islam klasik banyak melahirkan ulama yang berpikir tajam, kritis, bahkan progresif, tanpa tercerabut dari iman dan akhlaknya.
Artinya, seorang santri tetap bisa mengasah logika setajam pemikir kiri: mempertanyakan ketidakadilan, mengkritisi penyalahgunaan kekuasaan, serta memperjuangkan keberpihakan pada kaum lemah. Tetapi semua itu dilakukan tanpa menanggalkan akhlak kesantrian: rendah hati, menjaga adab, dan berlandaskan nilai-nilai syariat.
Maka, berlogika seperti pemikir kiri bukan berarti menjadi sekuler apalagi menanggalkan agama. Justru, ia menjadi bentuk penyempurnaan: ketajaman akal yang berpadu dengan kejernihan hati. Identitas santri memberi pondasi spiritual, sementara logika kritis ala pemikir kiri memberi kekuatan untuk membela kebenaran dan keadilan. Inilah harmoni antara nalar kritis dan nilai religius yang mestinya tumbuh di tengah masyarakat kita terutama alumni yang sudah banyak mengenyam ilmu dari lumbung pesantren.
Sumber Berita : IKMASS BONDOWOSO











