Adul Halim (Demisioner Ketua IKMASS Situbondo Periode ke IV)
ISSUE, Opini. Dalam tradisi pesantren, kritik bukanlah sesuatu yang tabu. Justru, sejak dulu para kiai mendorong santri untuk berpikir kritis, mempertanyakan, bahkan berdebat dengan dalil yang kuat. Namun, semua itu selalu dibingkai dengan adab: sopan santun, menghargai lawan bicara, dan mengedepankan objektivitas.
Belakangan, ada sebagian kalangan muda yang mengagumi tokoh-tokoh kiri dan para pejuang revolusioner. Kekaguman ini tidak salah, sebab sejarah mencatat mereka sebagai sosok yang kritis terhadap ketidakadilan. Tetapi persoalannya muncul ketika semangat itu diterapkan secara mentah dalam forum organisasi berbasis pesantren.
Alih-alih membawa gagasan yang mencerahkan, kritik yang lahir justru sering menjelma menjadi serangan pribadi dan vonis terhadap keseluruhan organisasi. Cara seperti ini tidak hanya menyalahi tradisi pesantren, tapi juga melemahkan substansi kritik itu sendiri. Kritik tanpa adab hanyalah teriakan kosong yang sulit diterima.
Pesantren dan organisasi turunannya mengajarkan kita bahwa kritik adalah ibadah ilmiah: lahir dari niat baik, disampaikan dengan hujjah yang jelas, dan dibungkus dengan akhlak yang luhur. Mengagumi sosok revolusioner tidak berarti meniru gaya konfrontatifnya secara bulat-bulat, apalagi di ruang yang punya nilai dan kultur berbeda.
Sudah seharusnya kita membedakan antara semangat revolusi dan cara beradab. Tanpa itu, kritik kehilangan makna, dan forum kehilangan wibawa.
Karena itu, mari kita kembalikan kritik pada jalurnya: sebagai upaya memperbaiki, bukan merendahkan; sebagai ruang mencari solusi, bukan ajang menjatuhkan. Dengan begitu, forum pesantren akan tetap menjadi wadah yang teduh, intelektual, dan berwibawa.
Sumber Berita : IKMASS SITUBONDO











