Dekan SBM UK Petra Surabaya Tanggapi Kebijakan Larangan Pengecer LPG 3 Kg yang Resmi Dicabut

Sabtu, 8 Februari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dosen sekaligus Dekan School of Business and Management atau SBM Petra Christian University (PCU)Josua Tarigan. Foto : Humas PCU

Dosen sekaligus Dekan School of Business and Management atau SBM Petra Christian University (PCU)Josua Tarigan. Foto : Humas PCU

Jatim Cettar – Seorang dosen sekaligus Dekan School of Business Management (SBM) Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya atau Petra Christian University (PCU), bernama Josua Tarigan, menanggapi isu yang beredar di tengah masyarakat terkait pencabutan kebijakan larangan pengecer menjual LPG Tiga Kilogram (gas melon).

Ia mengatakan, bahwa perubahan kebijakan tersebut mencerminkan tantangan dalam mengatur subsidi energi.

Latar belakang perubahan kebijakan ini berawal dari, Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto yang pada Selasa (4/2/2025) lalu mencabut kebijakan larangan pengecer menjual LPG Tiga Kilogram (gas melon).

Perubahan kebijakan ini kontradiktif dengan kebijakan sebelumnya yang mewajibkan masyarakat membeli LPG subsidi hanya di pangkalan resmi Pertamina untuk memastikan distribusi lebih tepat sasaran dan sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET), sehingga kebijakan diberlakukan per 1 Februari 2025 itu justru menimbulkan kelangkaan, antrean panjang, bahkan keresahan di masyarakat.

“Setiap kebijakan pasti ada dampaknya, baik di tingkat makro maupun mikro. Saat akses LPG subsidi dipersempit, daya beli masyarakat berpenghasilan rendah terdampak. Mereka harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk energi, yang akhirnya mengurangi konsumsi kebutuhan lain,” jelas Josua.

Josua pun menyoroti dampaknya terhadap pelaku usaha kecil. Dikatakannya, UMKM yang mengandalkan LPG tiga kilogram memiliki dua pilihan sulit, yaitu menaikkan harga jual atau mengurangi laba.

“Jika harga naik, daya beli masyarakat bisa turun. Jika tidak, laba mereka berkurang,” jelas dosen yang memiliki kepakaran di bidang bisnis, keuangan, dan ekonomi tersebut.

Menurut Josua, kebijakan ini sebenarnya bertujuan baik, hanya saja penerapannya terlalu mendadak. Bukan program subsidinya yang salah, melainkan sistemnya.

“Sejak pertama kali diterapkan bertahun-tahun lalu, pemerintah belum menemukan cara yang benar-benar efektif untuk memastikan LPG subsidi tepat sasaran. Akibatnya, kebijakan ini menimbulkan kepanikan dan kekacauan di lapangan,” katanya.

Sebagai perbandingan, Josua mencontohkan kebijakan subsidi Pertalite yang diterapkan secara bertahap melalui penggunaan barcode.

Ia mengungkapkan, saat Pertalite mulai dibatasi, ada masa transisi yang cukup panjang. “Awalnya masih ada kelonggaran, baru setelah beberapa bulan aturan diperketat. Sekarang, tanpa barcode, orang tidak bisa mengisi Pertalite. Itu contoh bagaimana kebijakan bisa diterapkan tanpa menimbulkan kegaduhan,” urai pengajar di jenjang Sarjana hingga Doktor itu.

Josua pun menekankan, bahwa subsidi LPG berbeda dengan bahan bakar kendaraan. Jumlah pengguna LPG jauh lebih banyak. Mulai dari rumah tangga hingga pedagang kecil, seperti penjual makanan keliling. “Jadi, sistemnya harus lebih fleksibel dan mudah dijangkau oleh semua kalangan,” tambahnya.

Dari sisi distribusi, Josua menilai, terdapat beberapa dampak yang turut juga dirasakan oleh pengecer. Menurutnya, omzet para pengecer pasti berkurang kalau LPG subsidi hanya boleh dibeli di pangkalan resmi.

“Tapi kalau sistemnya bisa memastikan harga lebih stabil dan distribusi lebih transparan, dampaknya bisa positif dalam jangka panjang,” kata Josua.

Menurut dosen yang memiliki sertifikasi di bidang Management Accountant dan Sustainability Reporting Assurer ini, solusi terbaik untuk distribusi LPG subsidi adalah menerapkan pendekatan bertahap.

“Dimulai dari beberapa wilayah dulu sebagai uji coba, sebelum diterapkan secara nasional. Subsidi yang tepat sasaran memang penting, tetapi lebih penting adalah sistemnya harus berbasis data dan mempertimbangkan kesiapan masyarakat,” tutup Josua.

Pembatalan kebijakan yang hanya berselang beberapa hari setelah diterapkan itu, secara tidak langsung menambah tantangan pemerintah dalam memastikan subsidi energi benar-benar tepat sasaran. Selain itu, hal ini jiga menjadi PR (pekerjaan rumah) penting yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah ke depan. (vin/s)

Berita Terkait

Jangan Ketinggalan, PWNU Jatim Segera Buka Beasiswa Prestasi Keagamaan 2025 untuk Santri Berprestasi
Presiden RI Prabowo Buka Kongres XVIII Muslimat NU di Surabaya
Jelang Launching Program Kesehatan Gratis oleh Presiden Prabowo Pj Gubernur Jatim Tinjau Kesiapan Puskesmas Jagir
Wujud Sinergitas, Suasana Akrab Terlihat Saat Kapolres Pamekasan Silaturrahmi Ke Kompi 516/CY Pamekasan
Biro Otoda Segera Sosialisasikan LPPD Provinsi Jawa Timur Tahun 2024
Kapolres Pamekasan, Tindak Tegas Anggota Yang Melanggar Hukum Dengan Sidang Kode Etik Polri
Kenang 40 Hari Kepergian Ainun Bani, Warga Sumenep Padati Kampung Arab
Ansor Jatim: Ekonomi Kreatif Kunci Wujudkan Jawa Timur sebagai Gerbang Baru Nusantara

Berita Terkait

Sabtu, 22 Februari 2025 - 08:47

Jangan Ketinggalan, PWNU Jatim Segera Buka Beasiswa Prestasi Keagamaan 2025 untuk Santri Berprestasi

Selasa, 11 Februari 2025 - 08:33

Presiden RI Prabowo Buka Kongres XVIII Muslimat NU di Surabaya

Senin, 10 Februari 2025 - 15:59

Jelang Launching Program Kesehatan Gratis oleh Presiden Prabowo Pj Gubernur Jatim Tinjau Kesiapan Puskesmas Jagir

Sabtu, 8 Februari 2025 - 16:41

Dekan SBM UK Petra Surabaya Tanggapi Kebijakan Larangan Pengecer LPG 3 Kg yang Resmi Dicabut

Selasa, 4 Februari 2025 - 15:38

Wujud Sinergitas, Suasana Akrab Terlihat Saat Kapolres Pamekasan Silaturrahmi Ke Kompi 516/CY Pamekasan

Berita Terbaru

Kolom

KHR Ach Fawaid As’ad: Saat Harapan Diuji

Sabtu, 31 Mei 2025 - 03:14