KHR. Achmad Fawaid As’ad: Hati Yang Membumi

Rabu, 28 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Syamsul A. Hasan

(Umana’ Ma’had Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur)

KOLOM — Di tengah hiruk-pikuk dunia yang riuh oleh ambisi dan ego, suara Kiai Fawaid As’ad hadir seperti desir angin di tengah padang gersang—menyejukkan, menyadarkan, dan menghidupkan kembali nurani yang nyaris padam. Dawuh beliau tidak sekadar rangkaian kata yang ditata rapi, melainkan napas panjang seorang hamba yang telah menempuh perjalanan batin yang dalam. Sebait doa beliau mengalun lembut namun tegas: “Ya Allah, jadikanlah kami penegak keadilan, penebar kebahagiaan dan ketentraman, perajut persaudaraan…” Kalimat ini bagaikan panggilan sunyi yang mengetuk ruang terdalam jiwa—untuk kembali menata niat, menghaluskan hati, dan meneguhkan arah hidup.

Dari lensa psikologi, dawuh ini merefleksikan puncak kematangan jiwa. Dalam teori Abraham Maslow, ini adalah tataran aktualisasi diri. Sedang menurut Carl Rogers, ini adalah potret pribadi yang sepenuhnya berfungsi—mereka yang telah menemukan makna di balik eksistensinya, dan memilih hidup dalam ketulusan pengabdian. Kiai Fawaid tidak menuntut manusia menjadi sempurna, tetapi menjadi utuh: berpijak di bumi dengan hati yang tak pernah lepas dari langit.

Keadilan, dalam bingkai pesan beliau, bukan sekadar soal hukum dan tatanan sosial. Ia adalah denyut nadi kewarasan bersama. Ketika seseorang memperjuangkan keadilan, sesungguhnya ia sedang menjaga kesehatan jiwa kolektif. Ketimpangan melahirkan luka batin, meluruhkan harapan, dan menghancurkan rasa percaya. Dalam kondisi semacam ini, mereka yang diam di hadapan ketidakadilan justru kehilangan bagian dari kemanusiaannya. Maka, menjadi penegak keadilan bukan hanya panggilan sosial, tetapi juga terapi jiwa—tanda bahwa seseorang masih hidup secara batin.

Lalu beliau berdoa agar kita menjadi penebar kebahagiaan dan ketentraman. Bukan pencari pujian, bukan pengoleksi puasa sunyi. Dalam psikologi positif, tindakan memberi dan membahagiakan orang lain merupakan kunci tumbuhnya rasa bahagia dalam diri sendiri. Memberi senyum kepada yang murung, memaafkan yang bersalah, mendamaikan yang bertikai—semuanya menjadi pintu menuju ketenangan batin. Kiai Fawaid seakan mengajak kita menjadi lilin, bukan api: memberi cahaya, bukan membakar.

Dan di tengah dunia yang makin sibuk dengan sekat dan klaim kebenaran, beliau mengajak kita menjadi perajut persaudaraan. Kita diciptakan bukan untuk bersaing dalam membangun tembok, tapi berlomba membuat jembatan. Persaudaraan memperkuat ikatan sosial, mengobati rasa sepi, dan menghadirkan rasa aman. Betapa relevannya dawuh ini di era digital, di mana orang tampak akrab di layar namun sepi dalam pertemanan sejati.

Yang paling menyentuh adalah pengakuan dalam doa beliau agar kita dijauhkan dari lupa diri, dari angkuh, dari rakus dan sombong. Ini adalah bentuk kesadaran mendalam akan bahaya terbesar dalam hidup manusia: egonya sendiri. Keangkuhan bukan hanya kesalahan moral, tetapi racun psikologis. Ia memutus empati, mengeraskan hati, dan memisahkan manusia dari makna sejati. Dalam doa itu, Kiai Fawaid sedang menuntun kita untuk bercermin—menyadari bahwa setiap manusia bisa tersesat oleh dirinya sendiri jika tak diberi cahaya petunjuk.

Dan akhirnya, beliau menyematkan makna hidup yang sejati: mengabdi kepada nusa, bangsa, agama, serta membela hamba-hamba Allah yang lemah, yang tertindas, yang didholimi. Ini adalah puncak dari kematangan spiritual dan emosional—transendensi. Sebuah keadaan ketika seseorang tak lagi hidup untuk dirinya, melainkan menjadi jalan kebaikan bagi sesama. Mereka tak haus pujian, tak silau sanjungan. Mereka cukup dengan keyakinan bahwa perjuangannya adalah persembahan untuk ridha-Nya.

Dawuh Kiai Fawaid adalah ajakan halus namun kuat untuk menjadi manusia yang membumi, yang teduh dalam langkah, dan ikhlas dalam bakti. Seperti hujan yang tak memilih tanah mana yang ingin disirami, beliau mengajarkan kita untuk hadir bagi siapa pun, dengan hati yang bersih dan tangan yang terbuka. Sebab hidup sejati, kata beliau tanpa berkata-kata, adalah ketika kita mampu menjejak di bumi—dengan hati yang senantiasa berpaut kepada langit.

Sukorejo, 27 Mei 2025

Penulis : Syamsul A. Hasan

Berita Terkait

KHR. Asad Syamsul Arifin: Tetap Menolong Meski Terluka
Ketimpangan Digital: Ketika Jaringan Menentukan Arah Hidup
Karsono, S.Ag Inisiasi Gerakan Kemandirian Banom NU Lewat “Ngurip-Urip” di Dlingo
Keinginan Harus Sejalan dengan Pengetahuan, Mungkin Cara ini Bermanfaat Bagi Pengusaha Pemula
Cara Mudah Hindarkan Anak dari Ketergantungan Gedget, Saatnya Orang Tua Berbenah
Nikmatnya Kopi Pahit, Seperti Apa Filosofinya
Jurus Ampuh Bagi Pemula Affiliate Tiktok, Pelajari Cara Ini

Berita Terkait

Kamis, 29 Mei 2025 - 07:42

KHR. Asad Syamsul Arifin: Tetap Menolong Meski Terluka

Kamis, 29 Mei 2025 - 01:58

Ketimpangan Digital: Ketika Jaringan Menentukan Arah Hidup

Rabu, 28 Mei 2025 - 06:36

KHR. Achmad Fawaid As’ad: Hati Yang Membumi

Senin, 26 Mei 2025 - 17:19

Karsono, S.Ag Inisiasi Gerakan Kemandirian Banom NU Lewat “Ngurip-Urip” di Dlingo

Sabtu, 24 Mei 2025 - 02:26

Keinginan Harus Sejalan dengan Pengetahuan, Mungkin Cara ini Bermanfaat Bagi Pengusaha Pemula

Berita Terbaru