Oleh: Syamsul A. Hasan
(Umana’ Ma’had Salafiyah-Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur)
“Kadang harapan terasa begitu dekat, namun tak juga terwujud oleh orang yang kalian cintai dan hormati. Di situlah ujian dimulai. Bila kalian mampu bersabar dan menerima dengan ikhlas, maka itulah tanda kalian telah lulus dari ujian kehidupan,” demikian dawuh Kiai Fawaid kepada para santri, sebagaimana dalam buku Wejangan Kiai As’ad dan Kiai Fawaid.
Dalam hidup, kita tak pernah luput dari harapan. Ia tumbuh dari hati yang mendamba, dari keinginan yang merangkai masa depan. Harapan itu sering kali terarah pada sosok-sosok yang kita cintai, yang kita hormati, bahkan kita patuhi sepenuh hati—orang tua, guru, pasangan, atau tokoh panutan. Namun, bagaimana bila harapan itu tak kunjung terwujud? Atau justru terlihat diabaikan? Di titik itulah dawuh Kiai Fawaid membuka ruang refleksi yang dalam: kesabaran dan keikhlasan adalah tanda lulusnya ujian hidup.
Secara psikologis, harapan adalah bagian dari sistem motivasi manusia. Ia menggerakkan kita, memberi makna pada tujuan, dan memelihara semangat untuk bertahan. Namun, harapan juga dapat melahirkan luka jika tidak dikelola dengan baik. Ketika harapan tak terpenuhi, otak manusia memicu respons stres, kekecewaan, bahkan kemarahan. Di sinilah kemampuan emotional regulation diuji—kemampuan untuk menyadari, mengelola, dan merespons emosi dengan bijak.
Dawuh Kiai Fawaid menekankan dua sikap kunci: sabar dan ikhlas. Dalam psikologi positif, sabar adalah bagian dari resilience—daya lenting untuk bertahan dan bangkit dalam tekanan. Sementara ikhlas, meski lebih sering dibahas dalam konteks spiritual, dalam psikologi dapat diterjemahkan sebagai acceptance—menerima realitas tanpa penolakan emosional yang destruktif.
Ketika seseorang sabar, ia tidak menolak kenyataan, tapi menundanya dengan harapan yang lebih sehat. Dan ketika seseorang ikhlas, ia melepaskan kontrol atas hasil, tapi tetap menjaga niat dan nilai dalam dirinya. Ini adalah bentuk kedewasaan psikologis yang mendalam: tidak menggantungkan harga diri pada terpenuhi atau tidaknya keinginan, tetapi pada cara kita menyikapi proses hidup.
Lebih dalam lagi, dawuh ini menunjukkan bahwa ujian hidup tidak selalu datang dalam bentuk kesulitan besar, melainkan dari ketidaksesuaian kecil antara harapan dan kenyataan yang datang dari orang-orang terdekat. Saat itulah luka bisa terasa lebih dalam, karena kita meletakkan kepercayaan pada orang yang kita cintai. Namun justru dari situ kita belajar: bahwa cinta sejati tidak selalu tentang menerima, tapi juga tentang merelakan. Bahwa hormat bukan sekadar pada wujud kehendak yang dituruti, tapi pada kesediaan untuk tunduk pada proses dan hikmah yang belum kita pahami sepenuhnya.
Dalam tradisi tasawuf, hal ini disebut fana—melepaskan ego, membiarkan diri larut dalam kehendak Ilahi. Dalam pendekatan psikologi Barat, ini disebut letting go—melepaskan keterikatan yang menyiksa demi mencapai ketenangan batin. Dua bahasa berbeda, tapi maknanya sejalan: kebahagiaan sejati tak datang dari semua yang kita inginkan tercapai, tapi dari kedewasaan jiwa dalam menghadapi apa pun yang terjadi.
Akhirnya, dawuh Kiai Fawaid bukan hanya nasihat untuk bersabar, tetapi petunjuk bagaimana menjadi manusia yang utuh: manusia yang berharap tanpa menggantungkan kebahagiaan pada hasil, mencintai tanpa menuntut, dan patuh tanpa kehilangan jati diri. Dalam keheningan hati yang penuh penerimaan, di sanalah kita benar-benar lulus—bukan hanya dari ujian orang lain, tetapi ujian terhadap diri sendiri.
Sukorejo, 31 Mei 2025