SUMENEP – Konflik lahan yang melibatkan warga pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Pak Fadly dan Pemerintah Desa Dungkek, Kecamatan Dungkek, Sumenep, semakin memanas. Pak Fadly, pemilik sah lahan seluas 20.000 meter persegi dengan SHM 00370, dihentikan secara sepihak saat hendak menggarap sebagian tanahnya yang diaku telah dibeli oleh desa pada tahun 2003 seluas 7.600 meter persegi. Ironisnya, hak kepemilikan atas nama Pak Fadly masih tercatat utuh dalam SHM.
Menurut Kuasa Hukum Pak Fadly, Herman Wahyudi S.H., insiden penghentian penggarapan lahan terjadi pada Senin, 19 Mei 2025. Kliennya dihadang oleh sekelompok orang berseragam mirip aparat desa yang tidak menggunakan name tag dan menolak memperkenalkan diri. “Mereka hanya mengaku ‘Kacong’, sebutan umum kebanggaan masyarakat adat,” ungkap Herman.
Herman Wahyudi sangat menyesalkan dugaan intimidasi yang dilakukan oleh salah satu oknum yang mengaku aparat desa tersebut. “Ada aparat yang mengaku bernama Kacong dan terlihat paling ‘jago’ mengancam akan menampar pihak pemilik tanah. Rupanya aparat tersebut belum sadar bahwa ini sudah abad 21 dan penjajah Belanda sudah pulang ke negerinya,” tegas Herman, mempertanyakan profesionalisme aparat yang seharusnya “to protect and serve civilian rights.”
Menanggapi kejadian ini, Sekretaris Desa Imam Santoso dan Kasi Pemerintahan Sahrudi menyatakan bahwa mereka “bukan menghentikan, tapi sementara pending dulu sambil ada mediasi buat ada kejelasan.”
Camat Dungkek, D. Dedy Iskandar, berjanji akan mempercepat penyelesaian masalah ini melalui mediasi yang akan difasilitasi oleh DPMD Kabupaten Sumenep dan mengundang BPN Kabupaten Sumenep. “Nanti kita akan membuatkan surat secara resmi mediasi yang sudah kita lakukan pada hari ini agar nantinya ada tindak lanjut yang akan bisa dilaksanakan,” kata Camat. Ia juga menegaskan bahwa untuk sementara semua kegiatan yang menggunakan lahan tersebut diberhentikan, baik dari pihak pemerintah desa maupun dari pihak yang mengatasnamakan memiliki lahan.
Namun, respons dari pemerintah desa dan kecamatan ini dinilai belum memuaskan oleh pihak Pak Fadly. “Pihak pemerintah desa tidak ada tanggapan sama sekali. Maksudnya gerakan dia itu apa bilang mau menyelesaikan itu? Itu kan cuman gerakan untuk menunda-nunda sampai mungkin ada camat berikutnya atau ada pejabat berikutnya,” tegas Herman.
Herman Wahyudi menambahkan, jika pemerintah desa merasa benar memiliki alas hak, seharusnya mereka berani menggugat secara perdata atau melaporkan ke polisi, bukan malah melakukan intimidasi di lapangan. “Seperti kemarin itu tidak bagus, sempat ada intimidasi di lapangan sampai mau ditempeleng para penggarap,” pungkasnya. Pihak Pak Fadly berharap ada penyelesaian yang adil dan transparan atas konflik lahan ini.